Secret Street

Salam,

Hai, Akhnan kembali lagi nih untuk meramaikan blog ini. Kali ini Akhnan mau membagikan sebuah cerpen/cerbung. Comment kalian sangat diharapkan untuk kelanjutan blog ini. Langsung saja, ini dia Secret Street.

 

Secret Street

Ditulis oleh: Akhnan Noer / Froggie

 

Lembaran Pembuka

Suatu hari di musim penghujan…

Dua tahun lalu…

 

Berita cuaca yang ditayangkan di televisi seringkali tidak sesuai membuat Andrea gelisah di tempat duduknya. Hari yang diberitakan akan cerah berawan kenyataannya menurunkan bulir-bulir air dari atas sana. Sebenarnya, Andrea adalah salah satu dari sekian banyak orang penikmat hujan. Hanya saja, mengingat besok ia harus menggunakan seragam yang dilihatnya tadi pagi masih menggantung di jemuran lah yang membuatnya gelisah. Apalagi melihat awan pekat dari sebelah barat yang tentunya tempat tinggalnya sudah diguyur hujan terlebih dahulu, membuatnya semakin gelisah. Ia hanya berharap ibunya tidak lupa untuk mengangkat jemuran.

Menerobos hujan bukanlah hal yang ia ingin lakukan. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menunggu hujan sedikit mereda. Sekedar untuk membuatnya tidak terlalu basah. Tapi, melihat hujan yang sedang menggila ini, sepertinya ia harus menunggu sampai sore tiba baru bisa pulang. Andrea hanya bisa menghela pasrah.

Suasana sekolah pun sudah mulai sepi. Hanya beberapa orang yang masih bersabar menunggu hujan mereda. Kebanyakan dari teman-temannya memilih menerobos hujan, dan sebagian lagi memang sudah mempersiapkan payung ataupun mantel. Mereka yang masih menunggu adalah orang-orang seperti Andrea. Terjebak dalam derasnya hujan siang hari.

Jam di dinding kelas sudah menunjuk angka dua lebih lima belas menit. Andrea berniat menerobos hujan saja. Apalagi perutnya yang sudah mulai berulah, membuatnya tidak bisa bersabar lagi.

“Hi, gelisah banget. Kenapa?” seseorang mengagetkannya dari belakang. Andrea terlonjak dari kursinya.

“Eh, Kak Rangga bikin kaget saja.”

“Kamu tahu namaku?” tanya Rangga heran.

“Siapa sih Kak yang nggak tahu Rangga Sadewa. Sang juara paralel dan kapten tim basket sekolah ini.”

Rangga tersenyum manis. Senyuman yang bisa membuat semua perempuan di sekolah terpesona. “Kamu melebih-lebihkan, Dek.” Rangga mengambil jeda, mengulurkan tangannya, “Dek siapa namanya?”

“Andrea, Kak.” Jawabnya cepat. Menyambut uluran tangan Rangga.

“Ohh, kamu Andrea Pradhipta, ya?” tanyanya menebak.

“Ehh, kakak tahu nama lengkapku darimana?” Andrea bertanya heran.

“Itu…” tunjuknya pada badge nama di baju seragamnya.

“Oh, iya…”

“Dan juga aku tahu dari papan pengumuman. Kamu kan yang mendapat nilai terbaik di ujian masuk sekolah tahun ini. Pasti sangat pintar dan menjadi idola sekolah nantinya”

Andrea sedikit malu dipuji oleh Rangga. Apalagi ia adalah idola sekolah ini. Sesaat pikirannya melayang, membayangkan sesuatu.

“Dek…” Rangga melambaikan tangannya di depan wajah Andrea.

“Eh, iya, Kak. Kenapa?” Ia menjawab gugup.

“Sudah sore. Nggak pulang?”

Andrea melihat ke arah sekitar. Hujan masih cukup deras. Cukup untuk membuatnya basah kuyup. Ia juga masih ingin berlama-lama ngobrol dengannya. Tapi, mengingat lagi perut yang sudah tidak bisa diajak kompromi, Andrea bimbang.

“Kak Rangga pulang duluan saja. Aku nunggu agak reda, Kak.”

“Mau bareng?” Rangga menawari. “Ini sudah lebih reda daripada tadi.”

Ia menengadahkan tangannya ke arah hujan. Mencoba mengatakan kalau hujannya memang sudah lebih reda dari sebelumnya.

“Nggak usah repot-repot, Kak.” Andrea menolak halus tawaran Rangga.

“Nggak repot kok. Lagian rumahku lewat jalan dekat rumahmu kayaknya.” Rangga memegang dagunya, mencoba mengingat sesuatu. “Jalan flamboyan 27, kan?”

“Heiii, kakak tahu darimana?”

“Hanya menebak saja.”

“Oh…” Andrea menggumam pendek.

“Ayo!” Rangga menarik tangan Andrea ke parkiran tempatnya memarkir motor.

Sepanjang jalan pulang mereka terdiam, terbuai dalam pikiran masing-masing. Hanya suara deru motor dan gerimis yang terdengar. Tidak ada yang mencoba untuk membuka percakapan lagi. Andrea masih bingung dengan apa yang sedang dirasakannya. Ingin ia menyangkal apa yang dirasakan hatinya. Perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, yang orang-orang sebut jatuh cinta. Ya. Andrea merasakan jatuh cinta pada kakak kelas yang baru kali ini mengajaknya berbicara. Perasaan yang sangat tiba-tiba dan bisa dibilang tidak normal, mengingat dia juga sama seperti dirinya. Laki-laki.

Sesekali Andrea ingin membuka obrolan, tetapi, bibirnya seakan kaku untuk membuka suara. Ditambah lagi dengan hatinya yang masih saja bergemuruh. Andrea hanya bisa diam diboncengan motor dan berharap cepat sampai rumah. Alih-alih cepat sampai rumah, ia malah dibawa ke warung tenda di pinggiran jalan. Lapar, itu yang dikatakan Rangga saat berhenti tadi. Jadilah ia sekarang duduk di warung tenda dengan orang yang sedang membuat hatinya bergemuruh dengan semangkuk bakso di depannya.

“Nggak apa-apa kan kalau kita makan dulu di sini?” Rangga membuka suara setelah sekian lama diam.

“Sebenarnya sih jadi apa-apa, Kak. Makanan Mak jadi gak kemakan.”

“Maaf…” Rangga mengekspresikan wajah menyesal.

“Ohh, gak apa-apa, Kak.”

Beberapa lama mereka terdiam. Hanya suara denting sendok dan mangkok yang saling beradu menciptakan harmoni yang cukup indah. Sesekali meraka saling lirik, dan ketika tatapan mereka saling bertemu, kegugupan tercipta di antara keduanya.

“Kak Rangga sudah sering kesini, ya?” tanyanya mencoba memecah kebisuan.

“Belum. Ini pertama kalinya. Aku ingin membuat kenangan.”

“Kenangan?” Andrea mengerutkan dahi. “Kenangan seperti apa itu, Kak?”

“Sebuah kenangan yang bisa dikenang.” Jawab Rangga dan tersenyum.

Ia membalas senyuman Rangga. Senyuman yang memang sangat-sangat manis.

Setelah selesai makan, mereka pun pulang. Sebenarnya ia mengajak Rangga untuk mampir dulu, tetapi ditolak halus oleh Rangga. Lain kali, sudah sore. Begitu yang dikatakan Rangga. Lain kali yang tidak pernah terjadi, karena hari itu adalah hari terakhir Rangga.

Penulis: akhnannoer

Not specially about me..

Tinggalkan komentar